WANAWALA — Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional (TN) Kerinci Seblat Wilayah III Sumsel-Bengkulu Zainudin mengungkapkan, berdasarkan penelusuran temuan tim patroli dan pantauan kamera trap, populasi Harimau Sumatera saat ini diperkirakan tinggal 30 ekor.
Wilayah rawan perburuan satwa liar, khususnya Harimau Sumatera, berada di kawasan Kabupaten Mukomuko, Bengkulu serta Kabupaten Musi Rawas dan Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.
Program Lingkar Inisiatif dengan pola pendekatan terhadap pemburu, dinilai pihaknya, berhasil menurunkan perburuan harimau karena mengurangi jumlah pemburu. Baca tulisan mengenai pemburu harimau legendaris, Mawi, yang memangsa ratusan harimau di sini –>> “Jalan Tobat Sang Pemburu Harimau Sumatera”
“Penurunan perburuan sampai 50 persen berdasarkan indikatornya temuan jerat. Temuan jerat sudah sangat sedikit yang kita temui di lapangan di bandingkan dua tiga tahun ke belakang di TN Kerinci Seblat ini,” ujar Zainudin.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Indra Exploitasia mengatakan, perburuan satwa liar dilindungi merupakan kejahatan transnasional yang masih terus terjadi akibat masih adanya permintaan pasar.
“Sampai sekarang masih ada permintaan sehingga suplai tetap dipenuhi. Permintaan bukan hanya datang dari dalam Indonesia, namun transnasional,” ujar dia.
Selain itu, Indra berujar, kurangnya personel untuk menjaga kawasan hutan salah satu penyebab para pemburu masih beraktivitas. Untuk menekan perburuan ini, dirinya akan mencari celah untuk menutup permintaan pasar. Dengan tidak adanya permintaan, maka perburuan satwa pun dapat dihentikan.
“Masyarakat juga berperan penting untuk menjaga hutan dan tidak melakukan perburuan ilegal. Sumatera memiliki banyak hutan tropis dataran rendah yang menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang harus dilindungi, karena ini adalah aset negara,” kata dia.
Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel Ujang Wisnu Barata mengatakan, pihaknya melakukan pemusnahan 18 offset kulit satwa dilindungi, Sabtu 19 Maret 2022. Pemusnahan dengan cara dibakar merupakan upaya untuk mencegah penyalahgunaan offset satwa liar.
Jenis 18 unit offset tersebut yakni empat ekor Harimau Sumatera, satu ekor macan tutul (Panthera pardus), tiga ekor beruang madu (Helarctos malayanus), satu ekor macan dahan (Neofelis nebulosa), delapan kepala rusa, dan satu kepala kambing hutan (Capricornis sumatraensis sumatraensis).
Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem dan peraturan pemerintah nomor 7 tahun 1999, offset kulit satwa dilindungi tidak boleh dimanfaatkan di luar kepentingan pendidikan, peragaan, dan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan.
Kemudian pada pasal 21 ayat 2 UU nomor 5 tahun 1990 tersebut, tertulis setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup atau mati. Pelanggaran pasal tersebut diancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.
“Potensi pasar dimanfaatkan sindikat perdagangan satwa ilegal dengan menawarkan harga yang tinggi. Sebenarnya warga tidak bermaksud memburu. Namun karena satwa seperti harimau dianggap hama, dan ada harganya, warga jadi tertarik untuk memburunya.
Untuk mencegahnya, pihaknya harus memperketat pengawasan dan patroli. Serta sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat untuk tidak memburu satwa dilindungi.
“Kalau Karena jika praktik ini dibiarkan, kepunahan satwa dilindungi tinggal menunggu waktu,” ujar Ujang.