WANAWALA – Istilah kibuk berasal dari bahasa Besemah (Pasemah) yang secara harfiah berarti tersisa atau terjepit. Secara geografis, HKm Kibuk diapit belantara lereng Gunung Dempo yang berstatus kawasan hutan lindung di bagian utara dengan perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) di bagian selatan.
Arti lain yang juga berkembang di masyarakat lokal, kibuk bisa berarti tanah yang berkabut. Ketinggian dataran yang berkisar antara 1.700-1.900 di atas permukaan laut membuat udara di kawasan tersebut sejuk dan sering kali berkabut.
Para petani yang menggarap lahan di lereng Gunung Dempo sering kali kejar-kejaran dengan aparat, baik TNI maupun polisi hutan, karena dianggap merambah di kawasan hutan tersebut pada medio 1970-1990-an. Tidak sedikit petani yang ditangkap, namun diselesaikan ‘di bawah tangan’ agar tidak mendekam di penjara.
“Kalau ketahuan, dangau (pondok) dibakar, batang kopinya ditebas semua. Sisa kayunya tidak boleh diambil untuk kayu bakar. Ditangkap, selesai di bawah tangan, terus dibilangin ‘Yang penting kamu jangan berkebun di situ’. Tapi tidak bisa, masyarakat tetap bertani di situ. Mau bagaimana lagi, itu periuk nasinya orang mau diusir,” ujar Rusi Siruadi (48), Sekretaris HKM Kibuk.
Selain dengan aparat, masyarakat pun sering kali bersinggungan dengan PTPN VII sebagai pemilik Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan teh yang diklaim mencapai 1.478 hektare. PTPN VII sering kali beralasan bahwa lahan yang digarap masyarakat tersebut dulunya merupakan perkebunan teh Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) yang kemudian asetnya dinasionalisasikan negara dan diserahkan kepada PTPN VII sebagai pengelolanya.
Selain kriminalisasi, petani pun sering kali menghadapi tindakan pungli dari para oknum untuk agar tidak diseret ke ranah hukum. Setiap petani harus setor hasil panen satu karung berisi 100 kilogram kopi agar kehidupan mereka tentram tanpa ancaman bui.
Setelah puluhan tahun dianggap seperti penjahat, akhirnya SK Perhutanan Sosial HKm yang diterima masyarakat menjadi oase di tengah gurun pasir bagi para petani Kelurahan Agung Lawangan, khususnya Dusun Gunung Agung Pauh.
Saat ini, tak ada lagi kriminalisasi dan pungli terhadap petani. Rencana Kerja Umum (RKU) HKm Kibuk yang sudah disusun, petani bisa menggarap lahan dengan catatan; tetap merawat hutan Gunung Dempo.
“Sekarang keberadaan masyarakat sudah diakui oleh negara, tinggal bagaimana bentuk hutannya bisa lestari, masyarakat pun bisa sejahtera, kepada Tuhan dan alam pun kita tidak malu karena tidak mengeksploitasi berlebihan,” ungkap Rusi.
Tanam Kopi dan HHBK
Petani HKm Kibuk memilih menanam kopi arabika karena ketinggian dataran yang ideal, serta nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan kopi jenis robusta. Dengan perawatan yang baik serta pemasaran yang tepat, kopi arabika yang ditanam di ketinggian lebih dari 1.600 meter di atas permukaan laut tersebut sangat dinantikan hasilnya oleh para pengusaha kopi di Sumsel.
Saat ini, dari 440 hektare lahan HKm Kibuk, lebih dari 200 hektare sudah digarap oleh 132 orang anggotanya. Konsep wanatani (agroforestry) diterapkan di seluruh lahan yang digarap ditanami hortikultura dan HHBK. Tanaman hortikultura seperti sawi, kubis, labu, wortel, cabai, bawang-bawangan, kentang, tomat dan stroberi.
Selain kopi dan alpukat, HHBK yang juga diupayakan budidaya adalah jeruk, rotan jernang, pala dan durian. Meskipun pala dan durian yang sudah ditanam dinilai tidak tumbuh dengan baik karena iklim yang kurang sesuai.
Merawat Hutan Konservasi dengan Konsep Ekowisata dan Menyerap Karbon
Ancaman eksternal terhadap lingkungan yang muncul di kawasan HKm Kibuk dan sekitarnya yakni masih adanya perambahan yang dilakukan masyarakat lokal maupun pendatang, khususnya Lahat. Perambah membuka lahan baru kawasan berstatus hutan lindung berpotensi merusak kondisi lahan dan sumber air yang sangat dibutuhkan karena tanpa perencanaan.
Oleh karena itu Lembaga Pengelola HKm Kibuk menetapkan lahan seluas 200 hektare sebagai kawasan konservasi. Selain menjaga hutan yang saat ini belum rusak, masyarakat HKm pun melakukan upaya konservasi di lahan hutan dengan kerapatan pohon rendah, kawasan semak belukar, dan hutan bekas terbakar. Tanaman kayu sabun dan kayu ara akan ditanam sebanyak 10 ribu batang per seratus hektare.
Masyarakat HKm Kibuk mendapatkan SK Perhutanan Sosial ini untuk 35 tahun sejak 2018 yang akan dievaluasi per lima tahun sekali. Dalam lima tahun pertama, masyarakat menanam masing-masing tiga ribu batang kayu ara dan sabun per 30 hektare di zona konservasi. Untuk tahun kelima hingga 10, penanaman kayu sabun dan ara sebanyak dua ribu batang per 20 hektare.
Karena lahan konservasi tersebut tidak boleh dijadikan ladang berkebun, HKm Kibuk membuat rencana pemanfaatan jasa lingkungan dengan konsep penyerapan karbon dan ekowisata agar dapat menambah nilai ekonomi hutan bagi masyarakat. Wilayah serapan karbon akan ditetapkan seluas 14 hektare di zona konservasi, sementara wilayah ekowisata akan diterapkan di kawasan seluas 25 hektare.
Zona ekowisata akan menawarkan objek wisata panorama, hiking, dan agrowisata jeruk yang ditanam oleh para petani. Sementara wilayah serapan karbon dikembangkan untuk memperkenalkan Hutan Lindung Bukit Dingin, Kota Pagaralam. Zona ekowisata pun dikembangkan untuk mencegah adanya aktivitas perusakan seperti penebangan liar, karhutla, dan konversi lahan.
Hanya saja, Rusi mengungkapkan, saat ini masyarakat kesulitan untuk mengembankan kawasan tersebut karena akses jalan yang masih sulit. Saat ini, di kawasan HKm Kibuk, Gunung Dempo, terdapat jalan setapak yang dulu pernah dibangun oleh VOC pada zaman kolonial. Bila pemerintah dapat membantu masyarakat dalam membangun akses jalan tersebut, rencana tersebut akan bisa segera terlaksana.
Selain itu, pihaknya pun membutuhkan pelatihan agar bisa meningkatkan kualitas SDM para petani dalam mengembangkan hasil perkebunan wanatani dan rencana kawasan ekowisata.
Tulisan lengkap di tulis Hafidz Trijatnika untuk CNNIndonesia.com