TNKS menjadi rumah kedua Mawi selama puluhan tahun. Mawi menghabiskan waktu lebih dari dua pertiga dalam satu tahun di hutan. Mawi berburu Harimau Sumatera dan menjual kulitnya selama puluhan tahun.
-
Mawi telah berburu harimau sejak 1974. Ritual khusus dipersiapkan Mawi agar aman selama berburu.
-
Sejak 2019, dirinya tidak pernah lagi mendapatkan harimau terkena jeratnya. Populasi Harimau Sumatera semakin kritis.
WANAWALA — Belantara hutan hujan tropis melingkupi langkah Mawi yang tanpa alas kaki memasuki Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Mata pria berusia 74 tahun ini tajam, naluri bertahan hidupnya menguatkan seluruh indera untuk menangkap setiap gerakan yang terjadi di sekitarnya, mencari mangsa: Harimau Sumatera.
Langkahnya lincah, gesit melewati gundukan tanah, akar pohon yang bermunculan. Setiap langkah tidak ada suara yang dibuat Mawi, seolah dirinya melayang.
Kawasan yang sudah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO ini, menjadi rumah kedua Mawi selama puluhan tahun. Mawi menghabiskan waktu lebih dari dua pertiga dalam satu tahun di hutan yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan ini. Demi memberi nafkah kepada keluarga, Mawi berburu Harimau Sumatera dan menjual kulitnya selama puluhan tahun.
Berburu Harimau Sumatera Sejak 1974
Setidaknya 47 tahun Mawi telah menjadi pemburu panthera tigris sumatrae. Saat berusia 14 tahun di 1974, dirinya mendapatkan ‘ilmu pemanggil harimau’ yang diturunkan oleh ayahnya. Ayah Mawi bukan pemburu. Ilmu tersebut memang sejak dulu diyakini dikuasai oleh segelintir orang yang tinggal di sekitar kawasan TNKS.
Tujuannya bukan untuk berburu, namun untuk mengetahui saat harimau mendekat ke pemukiman warga, kemudian menjauhkan harimau tersebut untuk kembali ke hutan habitatnya. Namun Mawi menggunakan ilmu tersebut untuk benar-benar memanggil Harimau Sumatera. Mawi beralasan tidak memiliki keahlian lain sehingga ilmu tersebut digunakannya untuk berburu harimau.
Mawi sudah menikah di usianya yang belia. Dirinya harus menafkahi istri dan anak-anaknya, namun tidak memiliki ladang dan kebun untuk digarap. Mawi pun tidak memiliki pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang tinggal di Dusun KMPI, Desa Muara Tiku, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan.
Mawi pun tahu betul risiko berburu harimau. Selain bertaruh nyawa dengan buruannya, ancaman pidana penjara pun menanti bila pekerjaannya dipergoki oleh aparat penegak hukum.
“Bukan saya mau, tapi saat itu saya terpaksa,” ujar pria yang memiliki enam anak dan 11 cucu ini seraya berjalan memasuki hutan. Setelah puluhan tahun melakoni, dirinya tidak ada pilihan lain selain meneruskan berburu.
Mawi tidak menenteng senapan saat memasuki hutan dan berburu harimau. Dari rumah, dirinya hanya berbekal sebilah pisau, sling baja, jas hujan, cairan spiritus, dan korek api. Naluri waspada dipupuknya sejak mulai berburu. Dirinya tidak boleh lengah, jangan sampai pemburu berbalik menjadi buruan.
“Kalau tidak siap, kita selesai (tewas),” ujar dia.
Ritual Khusus Jelang Buru Harimau Sumatera
Satu hari sebelum melakukan perburuan Mawi biasanya mengadakan ritual khusus saat hendak memasuki hutan. Mawi mempersiapkan sesaji; bubur hambar, tiga batang rokok, daun nipah, serta beberapa lembar daun sirih diletakkan di dalam hutan untuk menghormati leluhur. Mawi berdoa agar pertarungannya dengan Raja Rimba nantinya berlangsung sukses.
Di setiap perjalanannya, Mawi memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan harimau. Bisa berupa cakaran di pohon, feses, atau pun jejak kaki. Setelah memastikan lokasi tersebut merupakan jalur lintasan harimau, dirinya membuat lubang sedalam dua puluh sentimeter, menutupinya dengan ranting pohon, kemudian membuat simpul dari sling baja.
“Tanah galian itu harus dibuang jauh-jauh. Harimau itu tahu mana tanah baru dan tanah lama. Kalau tahu ini tanah baru digali oleh manusia, mereka tidak akan lewat,”ujarnya.
Sling baja diikat ke batang pohon yang kuat, supaya saat harimau melintasi perangkap, kakinya akan terjerat. Setelah perangkap selesai, Mawi meninggalkan lokasi untuk membuat jerat yang sama di 10-15 lokasi lain dengan jarak tiga kilometer di setiap satu lintasan satwa.
Mawi akan tinggal di hutan selama beberapa pekan sembari menunggu jeratnya mendapatkan mangsa. Bila tak mendapatkan harimau, Mawi pantang untuk pulang. Dirinya mengaku pernah tidak pulang satu tahun penuh karena tak kunjung mendapatkan buruan.
Setiap beberapa pekan Mawi mengecek jerat perangkap yang sudah dibuatnya. Saat buruan terakhirnya pada 2018, seekor harimau dewasa setinggi 2,5 meter terperangkap jerat yang dipasang Mawi. Harimau tersebut hanya bisa berputar-putar karena kakinya terperangkap sling. Mawi memperkirakan berat harimau dewasa itu bisa mencapai lebih dari 500 kilogram, sebab kayu pelontar yang dipasangnya patah padahal kayu itu kuat.
“Saya langsung ambil kayu untuk memukulinya. Kadang kita saling kejar karena harimau ini lincah. Tapi dia tidak bisa kabur karena kakinya terkena jerat,” ujar Mawi.
Raungan raja rimba menggema di hutan, tatapannya tajam menusuk tepat ke mata Mawi. Mereka saling tatap. Mawi tidak gentar, karena secuil rasa takut dan ragu akan berakibat nyawanya melayang. Ia lantas berputar menjaga jaga dengan Harimau untuk memukulinya dengan kayu.
Bila tak kena, Mawi harus berusaha meraih kaki bagian depan Harimau yang tak terkena jerat untuk memasukkan sling baja ke leher. Sang Raja Rimba dicekik sambil dipukuli hingga mati. Dirinya menghindari menggunakan senjata tajam atau senjata api karena akan mengurangi nilai dari kulit yang akan dijualnya.
“Kalau robek tidak berharga, apalagi kalau ada lubang bekas tembakan akan berkurang harganya. Satu lubang Rp1juta ($70) berkurang harganya,” ujar Mawi.
Kemudian Mawi menguliti kulitnya dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam ember berisi spiritus agar awet. Daging dan jeroan harimau disimpan untuk dikonsumsi saat bertahan hidup di hutan.
Setidaknya, 2-3 ekor harimau per bulan bisa didapatkannya. Dahulu, satu lembar kulit harimau utuh dijual sekitar Rp25 ribu pada tahun 1974. Seiring waktu, harganya semakin meningkat. Terakhir dirinya menjual satu lembar kulit harimau utuh Rp40 juta pada 2018. Mawi sudah tidak dapat menghitung berapa harimau yang berhasil dikulitinya.
“Mungkin sudah ratusan lebih harimau saya dapat. Terakhir tahun 2018. Kalau sekarang harganya dengar-dengar sudah Rp80 juta,” kata dia.
Keluarga di rumah hanya bisa harap-harap cemas karena tidak bisa berkomunikasi dengan Mawi yang berada di tengah hutan dan tidak mendapatkan sinyal ponsel. Keluarga hanya mendapatkan tanda Mawi masih hidup bila ada kiriman kulit atau daging harimau.
Kepiawaian Mawi dalam berburu membuat dirinya mendapatkan tempat terhormat oleh Suku Anak Dalam. Terkadang orang-orang inilah yang membantu membawakan kulit dan daging harimau hasil buruan Mawi ke keluarganya di rumah. Dirinya membangun bivak sederhana dengan jas hujan sebagai atap agar tidak kebasahan saat hujan. Mawi berburu babi gunung dan ikan untuk bertahan hidup.
Sejak 2019, dirinya tidak pernah lagi mendapatkan harimau terkena jeratnya. Populasi Harimau Sumatera semakin kritis. Hingga dirinya bertemu dengan Iswandi, Direktur NGO Lingkar Inisiatif yang menyadarkan Mawi untuk tidak lagi berburu harimau.
Sang Pemburu Bertobat
Iswandi mengambil identitas samaran saat berkenalan dengan Mawi. Dirinya sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk mencari pemburu harimau dan memberikan informasinya kepada aparat penegak hukum untuk dipenjara. Lingkar Inisiatif merupakan NGO yang bergerak di bidang pemerhati kejahatan satwa liar sejak beberapa tahun silam.
Kemasyhuran Mawi membuat Iswandi bertekad untuk memenjarakannya. Bukan perkara mudah untuk mendapatkan jejak Mawi. Iswadi menyamar sebagai seorang perantara penjual kulit harimau.
Pada tahun 2019, Iswandi bertemu dengan kakak kandung Mawi yakni Rudi yang juga sebagai pemburu.Iswandi meminta Rudi untuk mencarikan kulit harimau, namun disarankan untuk bertemu Mawi.
“Saat bertemu Mawi, dia pun sedang tidak punya kulit Harimau. Padahal Mawi ini adalah pemburu yang selalu dapat dan tak pernah lolos. Saya sempat ragu,” kata Iswandi.
Pendekatan pun dilakukan, Iswandi rela ikut menginap di hutan berminggu-minggu bersama Mawi hanya untuk mengenal lebih dekat dengan pemburu yang disegani tersebut. Setelah mengenal lebih jauh Mawi, Iswandi sadar, pendekatannya dengan menjebloskan para pemburu satwa terancam punah kurang tepat.
Memenjarakan para pemburu, tidak akan mengurangi aktivitas perburuan yang sudah ada. Oleh karena itu, dirinya berinisiatif untuk mengubah pola pikir Mawi dan membantunya mencari penghasilan lain.
“Lambat laun, Mawi akhirnya mau bertobat dan tak lagi berburu,”kata Iswandi.
Kini Mawi menjadi petani Madu Sialang. Mawi mendapatkan pendampingan dari NGO Lingkar Inisiatif untuk membantunya menjadi petani madu dan memasarkan produknya.
“Dulu jadi pemburu karena bingung mau mencari uang dengan apa. Sekarang menjadi petani madu lebih mudah. Sekarang pun saya mengambil Bigar Bambu yang bisa dijual untuk obat herbal,” ujar Mawi.
Selain tidak menjadi pemburu harimau lagi, Mawi pun mengajak pemburu lain untuk menghentikan aktivitas yang dapat merusak ekosistem Taman Nasional Kerinci Seblat tersebut. Sejak 2020 bertobat, Mawi pun sudah mengajak sembilan pemburu lain untuk mengikuti jejaknya. Reputasi Mawi sebagai pemburu yang disegani membuat pendekatan terhadap pemburu lain agar berhenti memburu pun lebih mudah.
Membersihkan Jerat dan Bekerja Sama dengan MUI
Hari itu, Maret 2022, kami mengikuti Mawi ke dalam hutan bukan untuk berburu harimau. Melainkan ikut dengan tim Smart Patrol Lingkar Inisiatif untuk membersihkan jerat harimau yang dipasang para pemburu di kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Kami ikut dalam tim, bersama Mawi sebagai pendamping, mencabut seluruh jerat yang ditemukan di dalam hutan selama sepekan. Hanya sedikit jerat yang ditemukan. Artinya, perburuan berkurang. Puas dengan hasil kerja mereka, tim pun kembali ke pusat kota untuk beristirahat.
“Saya sudah berjanji untuk tidak lagi berburu di depan makam bapak saya. Bila saya berburu saya, saya bersumpah akan mati dalam hutan,”ujar Mawi di perjalanan pulang.
Lingkar Inisiatif pun bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melakukan pendekatan terhadap para pemburu dari segi agama. Dengan pendekatan agama, para pemburu lebih cepat tobat dibandingkan dengan diancam kurungan penjara.