WANAWALA — Setidaknya ada tiga profesi utama yang menjadi urat nadi tambang batu bara rakyat di Desa Darmo dan sekitarnya. Penakil, mereka yang mengayunkan blencong — istilah lokal gancu — , ojek batu bara atau biasa disebut areng oleh warga lokal, serta para buruh bongkar muat karung-karung batu bara ke atas truk untuk dikirim kepada para pemesan.
Salah seorang penakil, Ripan, setiap harinya mulai beraktivitas sejak pukul 08.00, langsung ke mulut tambang dengan luas sekitar dua hektar, memanggul blencong sebagai senjata utamanya. Ripan sebelumnya merupakan buruh sadap karet, dan baru dua tahun menggeluti pekerjaannya sebagai penakil batu bara ini.
Harga karet yang anjlok beberapa tahun lalu menyebabkan upah yang diberi tuan tanah kepada dirinya semakin merosot, lama-lama Ripan jengah karena terjepit biaya kebutuhan hidup yang malah meningkat seiring waktu. Di usianya yang tak lagi muda, kakek dua orang cucu ini memutuskan ikut menambang batu bara di tambang rakyat.
“Awalnya payah, berat. Tapi lama-lama terbiasa saja. Upah per karungnya tidak naik-turun. Sekitar Rp1.000-Rp2.000 tergantung kesulitan nakilnya,” kata warga asli Desa Darmo ini.
Ripan mulai ikut menambang saat titik tambang baru digali dua tahun lalu. Di lokasi tersebut, sekitar 30-50 orang penakil plus ojek yang beroperasi setiap harinya sejak pagi hingga petang. Tak ada aktivitas tambang rakyat di malam hari karena kondisi gelap.
Tak ada peralatan keamanan mentereng yang dikenakan para penggali batu bara. Ripan datang ke lokasi tambang setiap hari dengan baju sekenanya. Sejak pandemi Covid-19 melanda, terkadang masker dikenakannya. Namun pengap dan sesak akibat udara panas disertai uap panas di lokasi tambang, masker jarang menutupi hidung dan mulutnya.
Sejauh tidak merasa badan sakit, Ripan pergi bekerja seperti biasa kecuali Jumat saat waktunya gajian dan libur. Upah para pekerja dihitung per hari, dibayarkan mandor per pekan.
Untuk menjaga keamanan, dirinya hanya perlu berhati-hati saat menggali agar tidak menyebabkan longsor. Biasanya, mandor pun mengingatkan agar menakil tidak sembarangan dan menyebabkan longsor. Bila longsor, konsekuensinya penggali bisa tertimbun dan tewas.
Lain dengan para penakil yang hanya bersenjatakan gancu, untuk menekuni pekerjaan ojek batu bara harus sedikit bermodal. Sepeda motor, secara spesifik Honda Revo Fit, menjadi modal utama para pengojek batu bara. Cukup dengan duit Rp3-5 juta, Honda Revo Fit bekas yang dimodifikasi semi trail sudah di tangan. Dengan itu, sudah cukup untuk menjadi raja lintasan tambang batu bara rakyat, mampu menjajal segala medan.
Pengojek bisa mengangkut hingga lima karung batu bara sekali jalan. Setiap karung berisi 40 kilogram batu bara. Tergantung jarak yang ditempuh, ojek batu bara diupah Rp1.000-3.500 per karungnya. Rata-rata, para ojek batu bara dapat mengantongi Rp300-500 ribu per hari sesuai jumlah yang mampu diangkutnya.
Motor harus rajin dirawat agar tidak ngadat saat mengangkut karungan batu bara. Perawatan ringan setiap pekan tidak akan menguras kantong dan pengojek masih untung banyak dari hasil kerjanya.
“Setiap harinya nggak tentu, kadang bisa 300 karung atau lebih. Sekali jalan saya bisa bawa lima karung, jarak tidak jauh, dari tambang ke samping saja. Dikurangi biaya makan dan minyak (bensin), service itu tidak terlalu keluar banyak uang. Sehari bersih bisa lah Rp300 ribu,” ujar seorang pengojek batu bara asal Jawa Tengah yang sedang ngaso di pondokannya.
Untuk buruh bongkar muat, biasa diupah Rp1.000 per karung ditambah bagi hasil 5 persen dari jumlah yang bisa dimuat di truk. Satu truk engkel dapat muat 600 karung. Jadi dari satu muatan truk, buruh bongkar muat bisa mendapatkan Rp630 ribu dibagi jumlah orang buruh.
Baca artikel lengkap tentang tambang batu bara rakyat di sini —> ‘Barang Tuhan Bagi Rata’ Tambang Batu Bara Ilegal di Muara Enim’ atau artikel lain dari Hafidz Trijatnika
Tulisan lengkap artikel ini telah ditulis Hafidz untuk South China Morning Post.