Press "Enter" to skip to content

'Barang Tuhan Bagi Rata' Tambang Batu Bara Ilegal di Muara Enim

'Barang Tuhan Bagi Rata' Tambang Batu Bara Ilegal di Muara Enim
Seorang ‘penakil’ mengayunkan gancu di tambang batu bara rakyat di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan. (Wanawala/Hafidz TJ)

Usaha tambang batu bara yang dianggap ilegal oleh pemerintah ini, diklaim Asosiasi Masyarakat Batu Bara (Asmara) Muara Enim menghasilkan Rp1,2 miliar per hari.

  • “Sudah seharusnya anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa ini dinikmati oleh seluruh masyarakat. Jangan hanya korporat saja yang menikmati,” ujar Herman Effendi, Ketua Asmara Kabupaten Muara Enim.

  • Pelanggan batubara tambang rakyat kebanyakan pabrik industri tekstil, garmen, besi. Per hari, 100 truk batu bara hasil tambang rakyat dikirim.

WANAWALA — Siang di suatu hari pada akhir Agustus 2021, cahaya matahari sedang terik-teriknya. Darmo, 33 derajat celcius; informasi yang didapat saat melirik ponsel. Darmo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan. Bukan hanya panas yang menyengat ubun-ubun, tanah yang dipijak di Darmo pun membara; jutaan ton batu bara di tambang terkandung di dalamnya.

M Ripan (56), salah satu ‘penakil’ santai mengayunkan gancu yang ujung satunya mengikis batu bara di dalam tanah menjadi pecahan kecil agar muat di dalam karung. ‘Nakil’ merupakan istilah lokal untuk menyebutkan kegiatan eksploitasi batu bara dengan cara menggali menggunakan peralatan manual di tambang batu bara rakyat. 

Bertelanjang dada, bercelana katun kumal, sepatu kets kecoklatan akibat dicuci berulang, dan topi khas tentara Jepang era Perang Dunia 2, Ripan terus menakil untuk mengejar target minimal 100 karung batu bara per hari.

“Saya dapat upah Rp1.500 per karung, sehari bisa dapat 100 karung. Sudah dua tahun saya bekerja begini. Lebih bagus daripada nyadap (karet),” ujar Ripan dengan rokok terselip di bibirnya.

Ripan merupakan satu dari 4.000 orang lebih masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada tambang batu bara rakyat di kawasan Lawang Kidul dan Tanjung Raja, Muara Enim. Usaha tambang batu bara yang dianggap ilegal oleh pemerintah ini, diklaim Asosiasi Masyarakat Batu Bara (Asmara) Muara Enim menghasilkan Rp1,2 miliar per hari.

“Batu bara — singkatan dari — Barang Tuhan Bagi Rata. Sudah seharusnya anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa ini dinikmati oleh seluruh masyarakat, terutama yang tinggal di daerah tambang. Jangan hanya korporat saja yang menikmati,” ujar Herman Effendi, Ketua Asmara Kabupaten Muara Enim.

tambang batu bara
Ojek batu bara menjadi salah satu profesi penting di tambang rakyat. (Wanawala/Hafidz TJ)

Para Penakil, Ojek Areng, dan Buruh Bongkar Muat

Setidaknya ada tiga profesi utama yang menjadi urat nadi tambang batu bara rakyat di Desa Darmo dan sekitarnya. Penakil, mereka yang mengayunkan blencong — istilah lokal gancu — , ojek batu bara atau biasa disebut areng oleh warga lokal, serta para buruh bongkar muat karung-karung batu bara ke atas truk untuk dikirim kepada para pemesan.

Ripan setiap harinya mulai beraktivitas sejak pukul 08.00, langsung ke mulut tambang dengan luas sekitar dua hektar, memanggul blencong sebagai senjata utamanya. Ripan sebelumnya merupakan buruh sadap karet, dan baru dua tahun menggeluti pekerjaannya sebagai penakil batu bara ini.

Harga karet yang anjlok beberapa tahun lalu menyebabkan upah yang diberi tuan tanah kepada dirinya semakin merosot, lama-lama Ripan jengah karena terjepit biaya kebutuhan hidup yang malah meningkat seiring waktu. Di usianya yang tak lagi muda, kakek dua orang cucu ini memutuskan ikut menambang batu bara di tambang rakyat.

“Awalnya payah, berat. Tapi lama-lama terbiasa saja. Upah per karungnya tidak naik-turun. Sekitar Rp1.000-Rp2.000 tergantung kesulitan nakilnya,” kata warga asli Desa Darmo ini.

Ripan mulai ikut menambang saat titik tambang baru digali dua tahun lalu. Di lokasi tersebut, sekitar 30-50 orang penakil plus ojek yang beroperasi setiap harinya sejak pagi hingga petang. Tak ada aktivitas tambang rakyat di malam hari karena kondisi gelap.

Tak ada peralatan keamanan mentereng yang dikenakan para penggali batu bara. Ripan datang ke lokasi tambang setiap hari dengan baju sekenanya. Sejak pandemi Covid-19 melanda, terkadang masker dikenakannya. Namun pengap dan sesak akibat udara panas disertai uap panas di lokasi tambang, masker jarang menutupi hidung dan mulutnya.

“Kalau sedang berangin banyak debu, baru pakai masker. Kalau biasa tidak dipakai, susah napas. Kaki panas sudah biasa, kan batu bara,” ungkapnya.

Sejauh tidak merasa badan sakit, Ripan pergi bekerja seperti biasa kecuali Jumat saat waktunya gajian dan libur. Upah para pekerja dihitung per hari, dibayarkan mandor per pekan.

Untuk menjaga keamanan, dirinya hanya perlu berhati-hati saat menggali agar tidak menyebabkan longsor. Biasanya, mandor pun mengingatkan agar menakil tidak sembarangan dan menyebabkan longsor. Bila longsor, konsekuensinya penggali bisa tertimbun dan tewas.

ojek batu bara
Warga mendirikan bengkel di pemukiman yang dibangun di sekitar tambang. Motor ojek arang yang ngadat, direparasi di sini. (Wanawala/Hafidz TJ)

Raungan Honda Revo Modifikasi Semi Trail

Lain dengan para penakil yang hanya bersenjatakan gancu, untuk menekuni pekerjaan ojek batu bara harus sedikit bermodal. Sepeda motor, secara spesifik Honda Revo Fit, menjadi modal utama para pengojek batu bara. Cukup dengan duit Rp3-5 juta, Honda Revo Fit bekas yang dimodifikasi semi trail sudah di tangan. Dengan itu, sudah cukup untuk menjadi raja lintasan tambang batu bara rakyat, mampu menjajal segala medan.

Pengojek bisa mengangkut hingga lima karung batu bara sekali jalan. Setiap karung berisi 40 kilogram batu bara. Tergantung jarak yang ditempuh, ojek batu bara diupah Rp1.000-3.500 per karungnya. Rata-rata, para ojek batu bara dapat mengantongi Rp300-500 ribu per hari sesuai jumlah yang mampu diangkutnya.

Motor harus rajin dirawat agar tidak ngadat saat mengangkut karungan batu bara. Perawatan ringan setiap pekan tidak akan menguras kantong dan pengojek masih untung banyak dari hasil kerjanya.

“Setiap harinya nggak tentu, kadang bisa 300 karung atau lebih. Sekali jalan saya bisa bawa lima karung, jarak tidak jauh, dari tambang ke samping saja. Dikurangi biaya makan dan minyak (bensin), service itu tidak terlalu keluar banyak uang. Sehari bersih bisa lah Rp300 ribu,” ujar seorang pengojek batu bara asal Jawa Tengah yang sedang ngaso di pondokannya.

Untuk buruh bongkar muat, biasa diupah Rp1.000 per karung ditambah bagi hasil 5 persen dari jumlah yang bisa dimuat di truk. Satu truk engkel dapat muat 600 karung. Jadi dari satu muatan truk, buruh bongkar muat bisa mendapatkan Rp630 ribu dibagi jumlah orang buruh.

batu bara ilegal
Ribuan karung batu bara setiap harinya dikirim ke pelanggan yang mayoritas merupakan pabrik di Lampung dan Banten. (Wanawala/Hafidz TJ)

Omset Tambang Batubara Ilegal Rp600 juta per hari

Herman mengungkapkan, para pelanggan batubara hasil dari tambang rakyat kebanyakan merupakan pabrik industri tekstil, garmen, besi, yang ada di Banten dan Lampung. Bila diakumulasikan per harinya, seluruh tambang rakyat yang beroperasi di Muara Enim dapat mengirim hingga 100 truk.

Satu karung dengan berat 40 kilogram dihargai Rp10.000. Satu truk dapat memuat hingga 600 karung atau 2,4 ton. Dengan asumsi enam juta per truk, setiap harinya Rp600 juta mengalir ke bisnis tambang batubara ilegal tersebut.

Herman bercerita, awal mula tambang batubara rakyat ada di kawasan tersebut berawal dari dirinya mendatangi tambang Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 2007. Di Sawahlunto, dirinya melihat masyarakat bisa melakukan aktivitas tambang batu bara secara legal dengan menerapkan pola kerja sama dengan pemilik IUP. Oleh karena itu dirinya ingin menerapkan hal yang sama di Tanjung Enim, khususnya di Desa Darmo.

 

Kampung Kecil di Pinggir Mulut Tambang

Di pinggiran mulut tambang tempat Ripan dan rekan-rekannya bekerja, sedikitnya ada 30-an pondokan semi permanen yang dibangun berpondasi kayu, beratap terpal. Hamparan terpal biru berdempetan di tengah kebun karet yang tak lagi produktif. Aktivitas para penambang yang selesai bekerja, tampak di kios-kios warung yang buka.

Aktivitas tambang batu bara rakyat memancing perputaran ekonomi kecil di tengah pemukiman rumah semi permanen tersebut. Warung-warung menjajakan makanan berat serba Rp10 ribu, ramah untuk kantong para penambang; kopi dan minuman dingin pelepas dahaga usai berpeluh di mulut tambang. Warung menjadi pusat sosialisasi para penambang dan ojek arang selepas bekerja.

Sesekali, datang pedagang bermotor menjajakan jajanan bakso, pempek, dan siomay yang langsung diserbu warga ‘Kota Kecil Tambang’ tersebut. Anak-anak berusia lima tahun ke bawah tampak riang bermain. Tak sedikit warga penambang dan pengojek arang yang memboyong keluarganya untuk tinggal di dekat tambang.

Beberapa orang pun membuka bengkel kecil-kecilan tempat para ojek arang memperbaiki Honda Revo Fit-nya bila bermasalah. 

“Cuma satu yang kurang di sini, kurang Indomaret,” ujar salah seorang penakil berkelakar.

pemukiman penambang batu bara
Para penambang batu bara rakyat mendirikan rumah semipermanen di sekitar kawasan mulut tambang. (Wanawala/Hafidz TJ)

Tebal Muka, Tebal Telinga Hadapi Cap Ilegal

Meskipun pemerintah masih memberikan cap ilegal terhadap tambang batu bara rakyat, nyatanya aktivitas masyarakat terus berlangsung tanpa ada larangan atau kriminalisasi dari aparat penegak hukum terhadap mereka.

“Cap ilegal dari pemerintah, ya harus tebal muka dan telinga. Kalau mereka sampaikan, saya mengakui itu illegal mining. Tapi alhamdulillah, sampai saat ini tidak ada yang melapor ke kepolisian merasa kehilangan. Yang dimalingin itu siapa, yang dicuri itu siapa,” ujar Herman, Ketua Asosiasi Masyarakat Batu Bara (Asmara) Kabupaten Muara Enim.

Herman mengaku, sebelum adanya aktivitas tambang batu bara rakyat pada 2007 di Desa Darmo, kriminalitas tinggi. Masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan, melakukan tindak kriminal demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Paling marak adalah bajing loncat, para pelakunya membajak dan memalak para sopir truk yang melintas di Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum).

Namun semenjak ada tambang rakyat, masyarakat dapat mencari pemenuhan kebutuhan hidup lebih baik daripada melakukan tindak kriminal.

Kalau maunya pemerintah kan harus tutup, tapi karena kebutuhan perut mau bagaimana. Proses apapun permasalahan regulasi, percepatan untuk ada payung hukumnya, Aktivitas masyarakat jangan dihalangi. Itu yang kami minta sama pemerintah,” kata dia.

*Artikel ini ditulis Hafidz dan telah diterbitkan sebelumnya di South China Morning Post dalam Bahasa Inggris.


Related